Rabu, 13 September 2017

PERSPEKTIF

Full Day School

  SETELAH dilantik sebagai Mendikbud sekitar setahun yang lalu, Muhadjir Effendy melontarkan dua gagasan yang langsung menuai prokontra. Gagasan pertama tentang penghapusan ujian nasional, yang kedua mengenai full day school dengan lima hari sekolah.
   Penghapusan ujian nasional nyatanya tidak direstui oleh presiden. Ujian nasional tetap berjalan dengan sejumlah perubahan. Gagal pada penghapusan ujian nasional, dia berusaha keras merealisasikan full day school. Permendikbud No 23 tahun 2017 tentang Hari Sekolah lalu diundangkan sebagai payung hukumnya.




                    Kebijakan Full Day School perlu Dikaji Ulang

   Bagi Mendikbud, full day school diyakini lebih memudahkan revolusi karakter bangsa yang menjadi salah satu nawacita Presiden Joko Widodo. Argumentasinya, proses interaksi sosial di lingkungan sosial lebih lama. Sepulang sekolah peserta didik segera kembali ke rumah, tidak keluyuran kemana-mana. Hari Sabtu dan Ahad mereka juga full bersama keluarga.
   Argumentasi di atas tidak cukup kuat. Bukankah pendidikan karakter dapat dilakukan di mana saja. Tidak hanya di sekolah. Dengan pulang pukul 15.00 atau bahkan 17.00, peserta didik mungkin justru tidak segera ke rumah. Dia milih nongkrong bersama teman-temannya sembari menyambut malam yang segera tiba. Terutama bagi mereka yang berada di bangku SMA/SMK.
   Tapi, bukan "lemahnya" argumentasi Mendikbud yang menjadi pemicu penolakan dari banyak pihak. Pemicu pertama adalah implementasi full day school ini sangat mendadak. Pasal 8 tegas menyatakan bahwa implementasi full day school dimulai serentak pada tahun pelajaran 2017/2018. Hanya peserta didik TK/RA dan peserta didik berkebutuhan khusus atau layanan khusus yang diberi peluang implementasi secara bertahap.
   Karena Permendikbud ini baru diundangkan hari Senin (12/6) lalu, maka sekolah/madrasah hanya memiliki waktu 33 hari untuk mempersiapkan diri. Setelah disorot, Mendikbud buru-buru mengklarifikasinya. Dikatakan bahwa implementasi full day school dilakukan secara bertahap, dimulai bagi lembaga pendidikan yang menyatakan siap.
   Pemicu kedua adalah terancamnya eksistensi madrasah diniyah, TPA, TPQ, dan pendidikan ke-Islaman ini umumnya dimulai sekitar jam 14.00 sampai jam 17.00 sore. Dengan full day school, anak-anak tidak mungkin belajar di sana. Waktunya sudah habis disekolah.
   Memang, pada pasal 6 ayat (1) dan (2) sekolah diberi peluang untuk bekerjasama dengan lembaga-lembaga di atas. Kerjasama itu mudah dikatakan tapi sulit dipraktikkan. Kesulitannya terletak pada keragaman metode pembelajaran. Dalam pembelajaran Alquran, misalnya, ada yang menggunakan Iqra', Qiroati, Tilawati, Ummi, dan sebagainya. Disamping membebani sekolah dalam evaluasi prestasi belajar peserta didik, sekolah juga kehilangan ciri khasnya dalam pembelajaran Alquran.
   Di samping itu, muncul pertanyaan, kalau pembelajaran dilaksanakan di lembaga-lembaga pendidikan keislaman tadi, lalu apa bedanya dengan praktik yang sudah berjalan selama ini. Pesera didik pulang sekolah di siang hari, lalu ngaji di sore harinya. Tanpa intervensi Mendikbud, kegiatan pendidikan keislaman sudah berjalan baik di masyarakat.
   Pemicu ketiga adalah generalisasi beban kerja guru. Semua guru tahu bahwa beban kerjanya sebanyak 24-40 jam pelajaran per pekan. Andaikan guru SD diberi beban mengajar 24 jam pelajaran per pekan, dengan 35 menit per jam pelajaran, itu sama dengan 840 menit atau 14 jam. Toh, mereka dapat melaksanakan tugas perencanaan dan evaluasi pembelajaran di rumah atau di mana saja.
   Permasalahan muncul bagi PNS. Sebagai guru, beban mengajarnya sebanyak 24-40 jam pelajaran per pekan. Namun, sebagai PNS, beban kerjanya 37,5 jam per pekan. Dia harus melaksanakan kewajiban sebagai guru di satu sisi, dan meenunaikan kewajiban sebagai guru di satu sisi, dan menunaikan kewajiban sebagai PNS di sisi lain. Mendikbud berdalih, lima hari sekolah itu ditetapkan terkait dengan beban kerja PNS (detik-news, 14/6).
   Sangat tidak bijak manakala regulasi itu diterapkan kepada guru non-PNS. Bagaimana mungkin guru non-PNS yang digaji 250 per bulan diberi beban sama dengan guru PNS. Apalagi dia belum memperoleh tunjangan profesi guru. Pada titik ini, terlihat bahwa Mendikbud telah menggebyah-uyah beban mengajar dan beban kerja guru.
   Pemicu keempat berkaitan dengan aspek pembiayaan, baik bagi orang tua, guru, maupun sekolah, terutama dalam hal "makan siang". Jika biaya makan siang dibebankan pada orang tua, maka beban orang tua semakin bertambah. Selama ini peserta didik makan siang di rumah sesuai life style masing-masing keluarga. Kini mereka kemungkinan besar makan di sekolah dengan menu yang seragam.
   Hal yang sama dialami para guru. Pilihannya ada dua: dibebankan pada sekolah atau pada guru. Kalau dibebankan pada sekolah, tentu sekolah harus mengurangi pos anggaran lainnya atau menarik biaya transportasi dan konsumsi.
   Agar tidak terkesan dipaksakan, kebijakan full day school lima hari perlu dikaji ulang. kalau pun Mendikbud kebelet untuk menerapkannya, jangan paksakan pada semua sekolah/madrasah. Biarlah mereka memilih. Yang siap silakan menerapkan, yang belum siap jangan dikucilkan. Yang harus siap bukan hanya guru dan sekolah, tetapi juga peserta didik dan orang tua. Siap dalam semua hal.
   Pastikan juga bahwa kebijakan itu tidak "mengubur" madrasah diniyah, TPA, TPQ, dan pendidikan ngaji Alquran di surau atau masjid. Mereka telah berkontribusi besar terhadap pendidikan agama dan pembinaan akhlak, jauh sebelum negeri ini mendengar tentang pendidikan karakter. Jangan sampai ikhtiar revolusi karakter justru meruntuhkan modal sosial-institusional yang sudah ada.(*)

*Prof Dr Babun Suharto SE MM,
Rektor IAIN Jember dan ketua
LPTNU PWNU Jawa Timur.

Sumer: Jawa Pos Radar Jember Jum'at, 16 Juni 2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar