Metode Pembelajaran Sufi
Sebuah solusi Alternatif bagi
Permasalahan Pendidikan
SERINGKALI kita membaca berita di media massa tentang tawuran yang dilakukan oleh kalangan pelajar maupun mahasiswa. Bahkan baru-baru ini di Jakarta Selatan terjadi tawuran pelajar antar dua sekolah yang mengakibatkan jatuhnya korban jiwa.
Menurut pengalaman penulis sendiri, beberapa kali berurusan dengan pelaku kriminal sebagian di antaranya pun ada juga yang masih berstatus pelajar dan mahasiswa.
Menuntut Ilmu adalah Ibadah
Perilaku negatif di kalangan pelajar dan mahasiswa seperti ini masih saja terjadi padahal materi moral dan agama sudah dimasukkan dalam kurikulum nasional.
Sekolah maupun perguruan tinggi berciri khas agama pun banyak bertebaran di pelosok negeri. Hal ini tentu saja sangat memprihatinkan, khususnya bagi kita para pendidik. Serta menimbulkan pertanyaan besar, apakah ada yang salah dalam sistem pendidikan kita.
Berbagai macam teori pendidikan telah digagas oleh diajarkan di perguruan tinggi. Berbagai kurikulum disusun berdasarkan teori tersebut dan diujicobakan di lapangan. Perbaikan dan perdebatan berlangsung untuk terus memperbaiki sistem pendidikan yang ada. Metode pembelajaran pun berganti-ganti untuk mencapai hasil yang maksimal dalam pendidikan. Tetapi tetap saja masalah bermunculan dan banyak yang tidak terkaver serta luput dari perhatian dalam sistem pendidikan yang ada.
Dalam konteks Islam, kalau kita amati lembaga pendidikan di negeri kita mulai lembaga pendidikan di negara kita mulai tingkat RA, MI, MTs, MA, dan Perguruan Tinggi Agama Islam, meskipun lembaganya beridentitas Islam dan materi yang diajarkan adalah keislaman akan tetapi kurikulum dan metode pembelajaran yang digunakan adalah positivistik khas Barat yaitu semua harus terukur dengan angka.
Misalnya ketika seorang murid belajar akhlak maka tolok ukur keberhasilannya adalah nilai 9 atau 10 untuk mata pelajaran tersebut bukan pengalaman akhlak pada kehidupan sehari-hari. Menurut hemat penulis di sinilah permasalahannya.
Padahal kalau mau menengok kembali tradisi pembelajaran umat Islam sendiri kita akan menemukan beberapa metode pembelajaran yang telah mengantarkan umat ini pada prestasi keilmuan, ketinggian akhlak dan pencapaian peradaban yang sangat mengagumkan.
Di antara metode pembelajaran tersebut dijaga dan dipraktikkan oleh mereka yang bergelut dalam bidang tasawuf. Ada beberapa poin yang khas dan tidak ditemukan pada metode pembelajaran seperti yang dikembangkan sekarang. Di antaranya adalah apa yang ada di bawah ini.
Pertama, menuntut ilmu adalah ibadah. Dalam dunia tasawuf menuntut ilmu adalah masalah ibadah. Motivasi selain ibadah dianggap akan menghalangi nur(substansi) ilmu untuk masuk ke dalam batin murid. Sehingga yang akan diperoleh hanya bentuk formalitasnya belaka. Bagi para sufi ilmu bukan hanya sekadar permasalahan hafalan dan penguasaan teori-teori belaka melainkan pahala, keberkahan dan kemanfaatan sekaligus.
Kedua, mengamalkan sebelum mengajarkan ilmu. Dalam lembaga pendidikan formal kompetensi mengajar didasarkan pada selembar ijazah. Permasalahan apakah yang bersangkutan sudah mengamalkan ilmunya atau belum bukanlah persoalan. Akan tetapi bagi guru sufi, sebelum mengajarkan ilmu maka seseorang harus mengamalkan dulu ilmu tersebut dalam kehidupannya. Karena orang yang mengajar tapi belum mengamalkan ilmu yang diajarkan termasuk sebuah kesalahan besar. Mengajar, bagi mereka juga merupakan sebentuk ibadah.
Ketiga, metode pembelajaran sesuai dengan bakat dan potensi murid. MUngkin kita sering mendengar kisah seorang murid yang jarang belajar di kelas. Bahkan sering diajak kemana-mana oleh gurunya atau disuruh menggembala ternak, bekerja di sawah dan sebagainya. Tetapi ketika pulang ke kampungnya malah menjadi orang yang berilmu dan punya nilai lebih dari teman-temannya yang rajin belajar. Kita mungkin beranggapan bahwa sang guru tersebut punya daya linuwih, padahal sebetulnya tidaklah seperti itu.
Guru tersebut sebenarnya hanya memperhatikan bakat dan potensi masing-masing muridnya yang antara satu dengan yang lainnya berbeda-beda. Melihat perbedaan tersebut sang guru tidak serta merta mengajar dengan metode yang sama, yaitu hanya mengajar di satu ruangan untuk semua murid. Guru menggunakan metode yang berbeda-beda untuk mendidik muridnya sesuai dengan potensi masing-masing dengan menggunakan teknik tertentu yang kelak memungkinkan muridnya mengenal dirinya sendiri dari menguasai keterampilan sesuai bakat dan potensianya.
Keempat, pembelajaran berbasis pengalaman. Seorang guru sufi dalam mengajarkan ilmu atau menuntun untuk mendapatkan sebuah pencerahan spiritual sering mengajak muridnya berjalan-jalan kepadang pasir, ke pasar atau ke tempat-tempat lainnya. Mengajak muridnya untuk melihat kejadian-kejadian yang ditemui kemudian mendiskusikannya bersama mereka. Kadang guru juga meminta murid untuk melakukan sesuatu yang mungkin bertentangan dengan logika berpikir mereka. Setelah selesai baru guru memberitahu maksud di balik perintahnya atau menjelaskan hikmah dari pekerjaan tersebut.
Kelima, totalitas dalam belajar. Dalam tradisi sufi totalitas dan keseluruhan hati serta pikiran merupakan syarat mutlak untuk keberhasilan mendapatkan ilmu dan kemanfaatannya. Banyak kita baca kisah-kisah yang menceritakan seorang murid yang kurang mampu di kelas akan tetapi akhirnya menjadi sosok yang berilmu karena totalitas dan niatnya yang tulus dalam menuntut ilmu.
Totalitas dan niat yang tulus akan membuat seorang murid peka dan sensitif terhadap rahasia-rahasia tersembunyi sebuah ilmu yang tidak bisa dilihat oleh orang yang hanya mementingkan bentuk formalnya saja. Selain itu, guru yang memahami ketulusan murid juga akan punya totalitas dalam memberikan ilmunya kepada murid. Karena pemahaman yang mendalam sebenarnya terletak pada murid bukan pada guru.
Keenam, hormat dan patuh kepada guru. Seorang murid wajib menghormati dan mematuhi gurunya meskipun bisa jadi secara spiritual murid lebih tinggi dari gurunya. Setiap orang yang mengenal Allah ('arif billah) harus mematuhi didikan dan gemblengan (tarbiyah) seorang guru-baik yang masih hidup atau sudah wafat- selama tidak bertentangan dengan hukum syariat (al-ahkam al-mashru'ah). Meskipun dalam persoalan sepele yang tidak ada sangkut pautnya dengan syariat. Karena hal itu merupakan kaidah kesopanan yang paling mendasar dalam hubungan guru dan murid.
Permasalahannya bukan masalah benar dan keliru tentang suatu pendapat tetapi yang ditekankan adalah kepatuhan dalam rangka mencari rida maka doa untuk keberkahan dan kemanfaatan ilmu untuk muridnya akan deras mengalir.
Demikianlah beberapa metode pembelajaran dari berbagai literatur tasawuf yang mungkin bisa diadopsi sebagai alternatif wacana dalam sistem pendidikan kita yang bercocok positivistik beserta dampaknya. Meskipun tidak didasarkan pada epistemologi keilmuan yang menjadi syarat mutlak dalam pengembangan ilmu di dunia modern metode tersebut telah terbukti melahirkan tokoh-tokoh di bidang keilmuan yang diakui oleh dunia. Karya-karya monumental yang dikaji baik di dunia timur maupun barat sampai hari ini nota bene adalah hasil dari metode pembelajaran tersebut.
Wallahu a'alam..
*Sekretaris Prodi S2
Hukum Keluarga
Pascasarjana IAIN Jember
Sumber: Jawa Pos Radar Jember Jum'at, 26 Mei 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar