Setelah Kontrak dengan Pabrik, Sekarang Inisiasi Asuransi Petani
Fluktuasi harga cabai kerap bikn gaduh perekonomian nasioal. Tak ingin terus-terusan gaduh akibat harga yang tak stabil, puluhan petani cabai di Jember mendirikan koperasi. Tujuannya adalah stabilisasi harga dan menyejahterakan anggota.HARI SETIAWAN, Jember
![]() |
TERBANTU KOPERASI: Para petani cabai merasakan manfaat besar dengan berdirinya koperasi Holtikultura Lestari di Kecamatan Wuluhan, Jember. |
Tak sekadar buntung. Selain untung yang diharap melayang, sebagian petani terancam kehilangan asetnya . Sebab, aset tersebut menjadi jaminan saat mencari modal bertaman cabai. Bila para petani itu tidak diselamatkan, orang miskin baru bakal bertambah.
Peristiwa sekitar satu dekade silam itu menjadi titik balik Edi untuk menginisiasi pendirian "sekoci" yang bisa menyelamatkan para petani cabai dari badai harga cabai yang anjlok."Sekoci" itu akhirnya dibentuk dengan nama Koperasi Hortikultura Lestari pada 2008 silam."Waktu itu baru sekadar namanya koperasi, tetapi badan hukumnya belum diurus," ujar Edi.
Lindungi Petani agar Tak Bangkrut saat Gagal Panen
Koperasi itu dibentuk Edi bersama 25 petani lainnya. Mereka petani yang berasal dari Kecamatan Wuluhan, Jenggawah, Sukorambi, Bangsalsari, Tanggul, dan Sumberjambe. Sebelumnya Edi dan teman-temannya itu bergabung dalam Asosiasi Agrobis Cabai Indonesia (AACI) Jatim."Kalau asosiasi kan fokusnya perberdayaan, tidak bisa untuk mengembangkan usaha," katanya.
Tetapi, petani asal Wuluhan itu menginginkan, petani cabai memiliki posisi tawar yang kuat di depan pedagang. Maklum, selama ini para petani cabai tidak bisa ikut menentukan harga pasar. Selama ini mereka pasrah mengikuti harga yang ditetakpkan para tengkulak atau pedagang besar. Tidak bisa tidak, untuk memiliki posisi tawar, patani harus berserikat.
Bila harga cabai tinggi, Edi menyebut, sejatinya petani tidak selalu menikmati harga tersebut. Selama ini cabai memang dikenal sebagai komoditas yang fluktuasinya tinggi. Saat harga tinggi, mahalnya nggak ketulungan. Demikian pula saat harganya rendah, bakal anjlok di bawah biaya produksi petani."Petani inginnya harga cabai ini stabil, tidak butuh harga tinggi," ujarnya.
Tidak heran, Bank Indonesia (BI) yang bertugas mengendalikan inflasi memberi atensi tinggi terhadap harga komoditas yang masuk golongan volatile food ini. Sebab, cabai kerap menimbulkan kegaduhan ekonomi nasional karena bisa memicu inflasi tinggi. Bila inflasi tidak dikendalikan, daya beli masyarakat akan merosot.
Namun, bukan hal mudah bagi Edi untuk menggerakkan koperasi yang dibentuknya itu. Sebab, membina petani yang jumlahnya sangat banyak di berbagai kecamatan di Jember membutuhkan kesabaran tersendiri."Petani itu kadang cengel (sulit diatur, Red). Diberitahu caranya bikin gulutan itu panjangnya sekian, tinggi sekian, jawabannya halah, ngene wae wis penak (begini saja sudah bagus, Red)," tuturnya.
Buah kerja keras mendirikan koperasi dan membina anggotanya memang tidak bisa langsung dirasakan saat itu pula. Tetapi, dari tahun ke tahun jumlah anggota terus bertambah. Dari 25 petani di tahun awal pendirian, pada tahun kedua jumlah anggota sudah mencapai 300-an petani. Luas areal dan kapasitas produksi cabai Koperasi Hortikultura Lestari pun terus bertambah.
Sampai pada 2010, tiba-tiba Edi didatangi tim dari PT Heinz ABC, produsen besar pengolahan cabai ditanah air. Rupanya, utusan ABC itu mendengar bahwa Edi berhasil mengorganisasi para petani cabai di Jember. Pabrik yang berbasis di Karawang, Jabar, itu tertarik menjalin kontrak pengadaan bahan baku cabai.
Edi girang alang kepalang."Ini yang saya cari sejak dulu," katanya, mengenang peristiwa yang tidak bisa dia lupakan sampai sekarang tersebut. Setelah melalui serangkaian negoisasi, disepakati ditahun itu Koperasi Hortikultura Lestari mendapat kontrak pengadaan cabai untuk ABC seluas 20 hektare atau setara 200 ton. Harga yang disepakati Rp 6.000 per kilogram.
Aturannya adalah bila harga pasar di bawah Rp 6.000, ABC tetap membeli cabai petani seharga Rp 6.000. Demikian pula sebaliknya, bila harga pasar di atas Rp 6.000, ABC tetap membeli cabai milik petani seharga Rp 6.000."Waktu itu harga segitu petani sudah untung karena biaya produksi per kilogram Rp 3.000. Ini yang diinginkan petani, ada jaminan harga. Harganya stabil," tegas petani yang sempat sekolah pertanian di Amerika Serikat ini.
Pola kemitraan antara Koperasi Hortikultura Lestari dengan PT Heinz ABC ini rupanya menjadi daya tarik bagi petani cabai lainnya. Bahkan, keanggotaan Koperasi Hortikultura Lestari meluas hingga sekitar Jember, seperti Kabupaten Bondowoso, Lumajang, bahkan Bojonegoro. Saat ini koperasi yang berbadan hukum pada 2011 itu sudah memiliki anggota lebih dari 600 petani dengan luas lahan 225 hektare.
Kapasitas yang terus berkembang ini membuat ABC terus menambah kapasitas kontrak dengan Koperasi Hortikultura Lestari."Pernah kami dikontrak ABC untuk pengadaan cabai 2.500 ton setahun dengan harga Rp 15.000 per kilogram," ungkap Edi.
Keberadaan Koperasi Hortikultura Lestari bagi petani cabai di Jember dan sekitarnya ibarat oase dipadang pasir. Selama ini bertanam cabai seperti engah berjudi. Bila beruntung, bisa kaya mendadak. Namun, bila sedang sial, petani bida bangkrut.
Siswanto, anggota Koperasi Hortikultura Lestari, mengaku, koperasi tidak hanya memfasilitasi penjualan cabai ke pabrik. Tetapi koperasi juga membantu anggotanya menyediakan bahan produksi, seperti mulsa, media tanam, dan bibit."Itu sangat meringankan karena nanti biayanya dipotongkan dari hari hasil penjualan cabai. Bayar setelah panen," katanya.
Bagi siswanto, peran koperasi yang menjembatani penjualan cabai ke pabrik benar-benar meningkatkan kesejahteraan petani. Sebab, petani mendapatkan jaminan harga di saat harga pasar sangat fluktuatif, meski biasanya koperasi baru membayarkan hasil penjualan 15 sampai 30 hari setelah panen.
Dengan adanya jaminan harga itu, petani akhirnya fokus meningkatkan produksi tinggi. Karena kita sudah kontrak dengan pabrik," tandasnya. Sebab, pada dasarnya saat harga tinggi petani tidak ikut menikmati harga tersebut. Harga tinggi biasanya hanya berjalan dua kali petikan (panen, Red). Sedangkan dalam satu periode tanam, cabai bisa dipetik sampai 20 kali.
Peran Koperasi Hortikultura Lestari untuk meningkatkan taraf hidup petani cabai bisa terlihat dari perputaran uang yang dikelola koperasi. Sebagai gambaran , pada 2015 Koperasi Hortikultura Lestari mendapat kontrak pengadaan cabai ke ABC sebanyak 1.500 ton. Dengan harga jual Rp 15.000 per kilogram, omset para petani cabai yang tergabung di Koperasi Holtikultura Lestari mencapai Rp 22,5 miliar per tahun."Sejauh ini petani merasa sangat diuntungkan dengan koperasi," ujar Edi.
Dengan jumlah anggota yang mencapai ratusan, tersebar di beberapa kabupaten, dan harus mengelola uang puluhan miliar per tahun, Edi mengatakan, kemajuan koperasi yang dipimpinnya sangat tergantung kemampuan manajerial pengurus."Pengurus kami ambil dari anggota saja, ya petani sendiri. Selama ini kami belajar dari apa yang di hadapi di lapangan. Tetapi, sejak Bank Indonesia (BI) menjadikan kami sebagai klaster binaan, aspek manajemen kami sangat terbantu oleh BI," akunya.
Walau berbentuk koperasi, kiprah Edi dkk menarik perhatian BI. Sebagai otoritas yang bertugas mengendalikan laju inflasi, BI berkepentingan untuk membina Koperasi Hortikultura Lestari."Di sinilah titik temu BI dengan Koperasi Hortikultura Lestari. BI punya tanggung jawabb moral untuk mengembangkan koperasi ini agar kebutuhan cabai terpenuhi dengan harga stabil," papar Pemimpin Kantor Perwakilan BI Jember Achmad Bunyamin.
Tak puas sampai menjalin kontrak dengan PT Heinz ABC, saat ini Edi sedang menginisiasi asuransi bagi petani cabai. Asuransi tersebut berfungsi sebagai perlindungan bagi petani cabai bila mengalami gagal panen. Apalagi, pertanian memiliki beberapa faktor yang sulit dikendalikan manusia, seperti cuaca dan cara hujan.
Inisiatif untuk merintis asuransi pertanian ini tidak lepas nasib pahit yang dialami Edi dan anggotanya pada 2016. Dari total lahan cabai di Jember sekitar 1.500 hektare, lebih dari 60 persen gagal panen. Sebabnya adalah curah hujan tinggi sepanjang tahun. Total kerugian yang di derita petani sekitar Rp 90 miliar.
Koperasi Hortikultura Lestari sendiri tahun lalu gagal memenuhi target pengadaan cabai ke ABC. Tahun lalu koperasi mendapat jatah 1.200 ton, namun sampai akhir tahun hanya bisa mengirim sekitar 100 ton. Akibat gagal panen masal itu, Edi mengaku, banyak anggotanya yang mengalami kerugian besar. Padahal, sebagian petani cabai itu turun ke sawah dengan modal dari bank."Kami akan meminta reschedule pembayaran utang ke bank. Tapi, kami menjamin utang itu pasti terbayar. Petani tidak akan lari dari tanggung jawab," tegasnya.
Berangkat dari persoalan inilah Edi membangun komunikasi dengan sebuah perusahaan asuransi. Ternyata, inisiatif itu disambut pihak asuransi. Dengan membayar premi yang disepakati bersama, bila petani mengalami gagal panen, pihak asuransi akan membayar ganti rugi.
Tentu saja, lanjut Edi, nanti ada standar operasional prosedur (SOP) bertanam cabai yang jadi acuan bersama."Selama petani sudah menerapkan SOP dan gagal panen, asuransi akan membayar. Dengan pola ini, setidaknya petani masih memiliki modal bertanam lagi bila gagal panen," terangnya.
Inisiatif merintis asuransi petani cabai ini murni karena ada persoalan di lapangan."Pikiran saya sederhana saja. Kalau petani padi bisa dikaver asuransi, mengapa cabai tidak? Padahal resiko tanam cabai lebih tinggi dari padi. Mestinya lebih layak untuk diproteksi," tandas Edi.
BI Jember sangat mendukung gagasan brilian dari Edi tersebut. Bunyamin mengatakan, BI sudah memfasilitasi komunikasi petani dengan pihak asuransi."Formula besaran premi dan bagaimana proses klaim bila ada gagal panen, kedua belah pihak yang akan merumuskan. Tetapi, BI akan berusaha mendorong asuransi petani cabai ini menjadi percontohan nasional," tukasnya.
Edi sendiri tidak mempersoalkan bila progam yang diinisiasinya ini dianggap sukses dan diduplikasi di daerah lain."Saya hanya berpikir bagaimana melindungi petani anggota koperasi dari kerugian," pungkasnya. Karena dia tidak ingin, para petani cabai jatuh miskin gara-gara gagal panen.(c1/hdi)
Sumber: Jawa Pos Radar Jember Sabtu, 29 April 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar