Selasa, 12 September 2017

Buka Bersama dengan M.Thoif Zamroni, Ketua DPRD Jember

Meski Pasti, Request Tempe dan Sayur Bening

   Tak banyak pemuda yang sanggup menjalani studi S1 sekaligus menghafal Alquran. Apalagi, mampu berprestasi di berbagai lomba sampai tingkat nasional. Saifuddin Amin adalah termasuk figur yang tidak banyak itu.
                                                      
HARI SETIAWAN,Jember
                                                      

CEMERLANG: Saifuddin Amin (tiga dari kiri) saat dinobatkan sebagai juara 1 di Musabaqah Hifdzil Quran
di Masjid Namiroh, Lamongan, dua pekan lalu.
   POSTURNYA kecil. Tinggi badan sedikit di bawah rata-rata. Didukung wajah yang masih seperti remaja, sepintas orang akan menyangka dia masih usia SMA. Padahal, Saifuddin Amin saat ini tercatat sebagai mahasiswa semester 6 di Progam Studi (Prodi) Ilmu Alquran dan Tafsir di Fakultas Ushuluddin Adab dan Humaniora IAIN Jember.
   Siapa sangka, pemuda yang sekarang sedang mondok di Pondok Pesantren Alquran (PPA) Ibnu Katsir, Patrang, Jember, ini dikenal sebagai langganan juara di berbagai musabaqah Alquran, baik mewakili pesantren maupun pesantren maupun kampusnya.
   Sudah belasan juara diraih Amin, baik secara individual maupun tim. Tetapi, di antara berbagai prestasi yang diraihnya itu ada satu yang cukup berkesan. Yakni, berhasil menjuarai dua musabaqah nasional dalam tempo kurang dari satu minggu.

                          Di Pondok Dijuluki Profesor Kiai

   Pekan kedua Mei lalu, Amin mengikuti Musabaqah Hifdzil Quran (MHQ) ini, Aminn menyisihkan lebih dari 80 peserta dari berbagai daerah dan menyabet juara 1. Selain uang tunai, hadiah umrah berhasil diraihnya.
   Sesuai namanya, di lomba d uji kemampuan hafalan dan tafsir setiap peserta. Semua pertanyaan dan jawaban harus disampaikan dalam Bahasa Arab."Tanggal 13 Mei saya tiba di pondok, tanggal 17 Mei saya ikut lomba lagi di Bogor," ungkap Amin.
   Di Bogor, dia mengikuti Al Mahir bi Fahmil Quran bersama Afif Abdillah, temennya, satu pondok. Sedikit berbeda dengan lomba sebelumnya, di Bogor pemahaman Amin dan Afif terhadap Alquran diuji oleh tim juri."Di lomba Al Mahir, pada sebuah ayat kami ditanya apa maknanya dan pelajaran apa yang bisa diambil. Itu harus dijelaskan dengan Bahasa Arab," terang Amin. Di lomba yang diikuti sekitar 20 tim itu, Amin dan Afif berhasil meraih juara 2.
   Apa yang dicapai Amin tersebut sejatinya bukan hal mengejutkan. Sejak 2014 sampai sekarang, pemuda kalahiran Bangorejo, Banyuwangi, ini sudah menjuarai belasan musabaqah, baik tingkat lokal, regional, dan nasional. Sebagainya diraih secara individu, tetapi banyak pula yang diraih bersama tim, terutama bersaa temannya satu pondok di Ibnu Katsir.
   Amin mengaku, walau sering menang dalam berbagai musabaqah Alquran, dirinya dan keluarga tidak memiliki latar belakang Alquran."Tidak ada orang tua atau saudara-saudara saya yang berlatar Quran atau menghafal Quran," akunya.
   Tetapi, Amin sejak masih anak-anak sudah banyak bersentuhan dengan pendidikan agama. Pendidikan dasarnya diselesaikan di madrasah ibtidaiah (MI) di Bangorejo. Sempat diminta orang tuanya mondok, namun Amin menolak. Dia hanya belajar diniyah di pesantren dan tidak bermukim di pesantren.
   Lalu, MTs dilanjutkan di Muncar Banyuwangi, sembari mondok di Pondok Pesantren Minhajut Thulab. Setelah lulus di bangku MTs, Amin melanjutkan belajarnya di MAN Pasanggaran. Sebagai tempat tinggal dan belajar agama, dia mondok di Pondok Pesantren Darus Syafaah. Saat di Darus Safaah inilah Amin mulai menghafal Alquran.
   Ketertarikannya untuk menghafal Alquran sebenarnya tidak sengaja. Awalnya, dia tertarik dengan bidang matematika IPA (MIPA). Tetapi, di berbagai lomba MIPA dia tidak pernah menang. Merasa bukan tempatnya untuk mengukir prestasi, Amin mendalami Bahasa Inggris.
   Hal yang sama kembali dia hadapi. Di berbagai olimpiade Bahasa Inggris, dia sering kalah dari peserta dari Bali. Lalu, dia mendalami Bahasa Arab. Lagi-lagi dia merasa banyak orang lebih pandai Bahkan Arab daripada dirinya."Kemudian, saya sempat melihat kakak kelas kok enak baca Alquran sambil hafalan. Lalu saya mencobanya, ternyata memang menyenangkan" tuturnya.
   Tidak mengherankan, saat masuk ke PPA Ibnu Katsir, Amin sudah berbekal hafalan 30 juz Alquran. Sebelum lulus MAN dia sempat menjalani wisuda Alquran di pesantrennya."Jadi, di Ibnu Katsir saya tinggal melancarkan hafalan saja," ungkapnya.
   Kecerdasan Amin tidak hanya terpancar dari prestasi di bidang Alquran. Di bidang hadis pun, kemampuan hafalan Amin cukup luar biasa. Bagaimana tidak, dia mampu menghafal 500 buah hadis berikut sanad dan perawinya dalam tempo 10 hari.
   Dari 500 hadits yang dia hafal itu, sebanyak 100 hadits di antaranya dia hafal sanad-nya sampai bersambung ke Rasulullah Muhammad SAW dan perawi-nya. Sedangkan yang 400 hadis dia hafal masing-masing satu sanad dan perawi-nya saja.
   "Gara-garanya saat itu saya disuruh dosen dan ustaz di pondok ikut musabaqah hadits. Teman-teman prodi ilmu hadis tidak ada yang ikut. Akhirnya saya yang ikut. Akhirnya saya yang diminta ikut dan persiapannya hanya 10 hari. Ya waktu yang sisa itu yang saya pakai untuk mulai menghafal hadis," aku anak ketiga dari lima bersaudara ini.
   Berbekal hafalan 30 juz Alquran dan kemampuan Bahasa Arab dan Inggris yang baik, Amin tidak terlalu berat menjalani studi di IAIN dan Ibnu Katsir sekaligus. Hal itu terbukti dari indeks prestasi kumulatif (IPK) Amin di IAIN saat ini mencapai 3,9. Nyaris sempurna.
   Apalagi, sejak awal Amin memang berminat kuliah di prodi ilmu Alquran dan tafsir."Seandainya disuruh memilih, saya memang ingin masuk ilmu Alquran dan tafsir. Ternyata, pondok memang mewajibkan masuk prodi ilmu Alquran dan tafsir, jadinya pas dengan minat saya," terangnya.
   Yang pasti, setelah lulus kuliah dan wisuda Alquran di PPA Ibnu Katsir nanti, Amin ingin melanjutkan studinya. Secara pribadi, dia ingin melanjutkan S2 ke kampus Timur Tengah."Tapi, langsung S2 di Timur Tengah sulit karena harus mengulang S1 di sana. Kalau mau S2 cepat ya di Indonesia atau studi Alquran di (negara) Barat," ujar Amin. Namun, semua akan dikembalikan dengan restu sang ibunda. Dia akan meminta pertimbangan ibunya sebelum melanjutkan studi.
   Di kalangan teman-temannya, Amin memang dikenal sebagai santri yang cerdas. "Dia itu Profesor Kiai," ujar Najmuddin, kakak kelasnya di Ibnu Katsir, menyebut julukan Amin di kalangan teman-teman pondoknya.(c1/hdi)
Sumber: Jawa Pos Radar Jember Sabtu, 27 Mei 2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar